Bahasa Menunjukkan Bangsa

Posted: Mei 26, 2010 in Umum

Salah satu anak saya, di sekolah, menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar mata pelajaran di kelasnya.

Suatu hari saat mengerjakan PR matematika, ia susah mencari istilah dalam bahasa Inggris dan dengan kesal berkata, “Kapaa…aan Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional?”

Mendengar itu, kakaknya menjawab, “Nggak bakalan, terlalu banyak kata serapan dari asing tanpa struktur kata dasar yang baku?”

Ada benarnya juga dia. Waktu kuliah dulu, saya mengambil kelas Dasar Linguistik Bahasa Inggris, dimana kami diajari cara mencari arti kata tanpa melihat kamus. Bahasa Inggris penuh dengan serapan bahasa asing juga, cuma berstruktur dasar yang baku secara umum. Misalnya, dasar kata ‘eu’ dari latin yang berarti bagus, selalu mencerminkan arti bagus dari kata yang mengandung ‘eu’, seperti eugene yang artinya eu=bagus gene=gen, jadi artinya keturunan yang baik.

“Sudahlah, kalau mau maju pelajari bahasa Inggris, banyak manfaatnya, kok!” timpal saya. Kemudian saya ceritakan pengalaman bertemu orang Malaysia, Singapura, India dan lainnya, bahkan kadang orang Indonesia juga, yang kebanyakan dari mereka-mereka di atas walau bisa bahasa Indonesia lebih suka bercakap dan menuangkan kontrak dalam bahasa Inggris.

Suatu hari saya pernah bertemu kawan Australia yang cukup fasih berbahasa Indonesia walau dengan logat bule. Di tengah percakapan, handphone dia berdering dan dia angkat. Dari pembicaraanya kelihatan topiknya mengenai pesanan barang kawan ini terhadap orang di ujung telepon sana.

Kemudian kawan Australia ini berkata dengan logat bulenya, “Pesok lagi, insalah lagi, insalah, dari dulu pesok atau insalah.”

Yang ia maksud kata Insya Allah dan kata besok yang tidak pernah datang, atau dalam istilah bahasa Inggris: tomorrow never come.

“Sudah saja, bapak faks ke kantor kapan hari pastinya, in english please!” lanjutnya.

Secara tidak langsung kawan ini sudah tidak percaya dengan janji yang diucapkan dalam bahasa Indonesia. Berikut, maunya dia, kalau berjanji dalam bahasa Inggris saja. Begitulah di Indonesia, maka itu ada istilah populer di negeri ini ‘memberi bukti, bukan janji’, yang sempat membuat kawan dari Australia ini bingung. Apa salahnya berjanji?

“A promise is a promise,” katanya.

Berbeda dengan di Indonesia, di banyak negara janji itu adalah janji. Menepati janji adalah membangun kredibilitas. Kredibilitas membuat seseorang bermartabat.

“Tidak pernah tepat waktu, jam rusak saja sehari dua kali tepat waktu,” kata orang Australia ini dengan dongkol.

Kemudian ia melihat ada dua buah jam dinding di ruang restoran tempat kami bertemu, yang masing-masing menunjukkan waktu yang berbeda.

“Lihat jam itu dan jam itu,” sambil jari telunjuknya menunjuk ke kiri dan kemudian ke kanan, “Dua buah jam yang menunjukkan waktu yang berbeda, typical Indonesia!” katanya.

“Ya iyalah,” jawabku, “Kalau dua-duanya menunjukkan waktu yang sama, buat apa ada dua jam.”

Berbeda dengan tata Bahasa Inggris yang mengakomodasikan Newtonian Grid, atau terikat ruang dan waktu, tata Bahasa Indonesia tidak mengenal ruang dan waktu atau tidak mengenal pluralisasi, tidak ada tata bahasa untuk peran jamak, tidak ada pengelompokan kata dan dimana saat ini bisa berlaku kapan saja.

Menggunakan rumus aritmatika, tata bahasa Inggris mensyaratkan konsistensi, dimana a x b = b x a, sedangkan dalam bahasa Indonesia a x b tidak harus = b x a.

Masalah ini pernah diperdebatkan oleh Anthony Burgess yang mengelompokkan bahasa Inggris dan sejenisnya ke dalam jenis Anglophonics yang merupakan bahasa yang rasional dan pragmatis (orientasi tertutup), dan kebanyakan bahasa Asia termasuk bahasa kita yang masuk ke kelompok kedua yaitu bahasa seni dan ekspresif dari permainan yang tanpa maksud atau tujuan (orientasi terbuka).

Kita akan mendapatkan masyarakat yang ramah, sopan dan penuh basa-basi pada mereka yang menggunakan bahasa dengan orientasi terbuka. Tetapi, di akhir pembicaraan, maksud dan tujuannya tidak jelas.

Menurut hipotesa Korzibski-Whorf-Sapir, bahasa yang digunakan suatu bangsa sebagai kebiasaan mempengaruhi daya persepsi mereka, ‘konsep’ mereka dan juga perasaan mengenai diri mereka dan dunia pada umumnya.

“Perubahan dalam berbahasa dapat merubah pengertian kita akan alam semesta,” seperti yang dinyatakan Whorf dalam hal ini.

Bukan kebetulan kalau fuzzy logic yang ditemukan oleh Lofti Zadeh dari University of Berkeley, California, di tahun 1964, penerapannya justru berhasil dilakukan di Jepang dalam bentuk komputer dan produk elektronik lainnya.

Hal ini disebabkan struktur bahasa Inggris hanya mengenal pernyataan-pernyataan yang secara logika dapat kita nilai sebagai pernyataan benar atau salah. Sedangkan, dalam kebanyakan struktur bahasa Asia, pernyataan-pernyataannya tidak mengandung logika benar-salah, tetapi sanggup tiba-tiba mengantar kita ke dalam pengertian yang baru.

Jadi, kalau bahasa Inggris mengandung logika Aristoteles, yaitu: ini atau itu, benar atau salah, ya atau tidak dan seterusnya. Bahasa Asia mengandung logika nilai-n yang tidak saja terikat ya atau tidak, tetapi termasuk tengah-tengahnya dengan tingkat probabilitas mengikuti di setiap perkembangan. Misal, jika n=1= tidak, n=2=20 persen kemungkinan ya, 2.5= 25 persen kemungkinan ya, terus… sampai 9=90 persen kemungkinan ya, dan 10=ya.

Seorang kawan Jepang mengatakan kepada saya bahwa kalau kita menawarkan sesuatu di Jepang dan jawabannya, “Akan saya pikirkan dulu,” mempunyai kemungkinan di atas 90% dia menolak tawaran itu.

Kelihatannya tidak berbeda jauh dengan di Indonesia.

Tetapi, ada yang membedakannya, bangsa Asia Timur kaya akan pengaruh filosi klasik dari India, Persia dan Cina. Salah satu konsep penting dari Cina yaitu filosofi ching ming.

Ching, sebagai kata benda mengandung arti pejabat atau pejabat kerajaan, sedangkan sebagai kata kerja mempunyai arti memperbaiki kesalahan atau kegiatan seseorang.

Ming berarti mulut yang juga berarti pernyataan tanpa arti, pernyataan umum yang tak jelas, gagasan mengambang, dll.

Disatukan, ching ming, berarti berpikir sebelum berbicara.

Mereka sangat teliti menggunakan kata-kata. Sedangkan di Indonesia, tidak saja sebagian dari kita senang bermain-main dengan semantik, menggunakan tata bahasa dan penulisannya saja sudah kusut. Seperti mengeja ‘silahkan’ dari yang seharusnya ‘silakan’, membedakan fungsi kata ‘kita’ dan ‘kami’ sering terbalik-balik, apalagi memberi tanda baca atau menulis kalimat panjang, cukup kacau juga.

Kegemaran lain pada sebagian bangsa ini, di waktu luangnya, adalah sering mengutak-atik keharmonisan tata bahasa dengan mengacaukan konsep dualistik di alam semesta.

Sebut saja istilah ‘Bank Syariah’, ahli ilmu logika menyebutnya sebagai Empedoclian paradox. Bank adalah haram, syariah adalah halal. Bagaimana mungkin sebuah kata ‘bank’, yang istilahnya tidak ada dalam Islam, disebut syariah.

Kata ‘bank’ lahir dari pedagang-pedagang uang di Italia di abad 12. William Shakespeare menyebut mereka Yahudi-yahudi dari Venesia dalam karya sandiwaranya yang berjudul ‘The Merchant of Venice’ atau ‘Pedagang (uang) dari Venisia’, kakek saya menyebutnya renteneer, ibu saya menyebutnya lintah darat, sedangkan generasi saya menyebutnya financiers.

Masuk ke dalam Bank Syariah, maka seseorang akan mendapatkan apa yang dikatakan Aristoteles “Sang Seniman meniru Alam”. Beberapa serangga tertentu meniru alamnya dengan sangat berhasil sehingga mereka menjadi tidak terlihat, kecuali mereka yang melihat apa saja dengan mata curiga. Kamuflase atau bukan, pada bank syariah, istilah-istilah bank konvensional diganti dengan bahasa Arab.

Setelah diperhatikan lebih lanjut, apa yang disebut bagi hasil, mempunyai nilai tetap dengan jumlah yang tidak berbeda jauh dengan bunga bank biasa melalui tata cara yang berbelit-belit yang menjadikannya tidak ilmiah.

Selanjutnya, konsep syariah mendadak berhenti kalau debitur merugi dan wanprestasi. Jaminan akan tetap disita untuk menutup kerugian bank karena bagi hasil bukanlah bagi rugi. Ternyata, beberapa orang mencoba bermain-main semantik dengan Tuhan juga.

Kelemahan lainnya menyangkut keterbatasan pemahaman dan perbendaharaan kosa kata yang dapat membatasi akal sehat seseorang. Berikut ini sekedar contoh bagaimana kata, nalar dan perilaku seseorang saling berkaitan.

Suatu ketika seorang pengamat politik di televisi menjawab, “Motif teroris adalah mendirikan Negara Islam,” katanya dengan yakin atas sebuah pertanyaan.

Benar atau tidak pengamatannya, kata yang tepat, revolusioner, tidak terlintas di benak perbendaharaan kata si pengamat, atau si teroris dalam hal ini.

Mungkin kata yang paling tajam yang dikenal si pengamat atau si teroris adalah terorisme, yang kemampuan merongrong negara setingkat lebih tinggi dari hama tikus, dan terorisme tidak membuat revolusi, yang menandakan perubahan mendasar, tetapi sekedar pemberontakan yang menandakan pertumpahan darah yang menjengkelkan tetapi bersifat sementara.

Teroris, semua orang tahu, semuanya edan dan kebanyakan mereka berakhir dengan kematian tanpa sempat membaca buku ‘Revolusi Cina’ –nya Mao Zedong atau ‘Perang Gerilya’ -nya Che Guevara sebagai buku pegangan kaum revolusioner.

Jadi, tuan-tuan dan puan-puan, bahasa menunjukkan bangsa. Penggunaan bahasa secara serampangan tidak saja merusak budaya tetapi tujuan bangsa pun tidak tercapai karenanya.

Menggunakan bahasa secara baik, benar dan sesuai fungsinya membuat seseorang menjadi lebih efisien. Mempelajari bahasa bangsa lain, seperti halnya bangsa lain mempelajari bahasa bangsa lainnya, yaitu mencari sesuatu yang tidak didapatkan di bangsanya sendiri, menjadikan seseorang lebih cerdas. Pejabat menjadi pejabat yang lebih baik, pedagang menjadi pedagang yang lebih baik, ibu rumah tangga menjadi ibu rumah tangga yang lebih baik, pelajar menjadi pelajar yang lebih baik dan seterusnya.

Langkah pertama menyelesaikan permasalahan-permasalahan bangsa ini harus dimulai dari penggunaan bahasa yang baik dan benar oleh pemimpinnya. Lebih dari dua ribu tahun yang lalu, sebuah pesan disampaikan oleh seorang bijak yang kiranya masih relevan hingga saat ini. Sebagai penutup, berikut pesannya di bawah ini.

Suatu ketika Khong Hu Chu, atau di Barat dikenal dengan nama Confucius, ditanya muridnya tentang apa yang pertama akan ia lakukan apabila ia diberikan kekuasaan untuk mengatur urusan negara.

Jawabnya “Saya akan yakinkan bahwa bahasa digunakan secara benar.”

“Tentu,” jawab murid-muridnya, “Ini masalah kecil. Mengapa guru anggap ini sangat penting?”

Sang guru menjawab “Jika bahasa tidak digunakan secara benar maka apa yang diucapkan bukanlah apa yang dimaksud. Jika apa yang diucapkan bukanlah apa yang dimaksud maka apa yang harusnya diselesaikan tidak dikerjakan. Jika pekerjaan yang harusnya diselesaikan tidak dilaksanakan, akhlak dan seni akan rusak. Jika akhlak dan seni rusak maka keadilan akan tersesat. Jika keadilan tersesat maka rakyat berada dalam kebingungan tanpa daya.”
Sekian dan terima kasih.

Penulis :
Hakimau

Komentar
  1. thanks buat sharingnya

Tinggalkan komentar